TIKUS
Suara berisik di luar membangunkan tidur. Pelan kuberanjak dari ranjang reot yang langsung menjerit saat tubuhku terangkat. Tapi sesaat pantatku setengah di udara kubatalkan niat. Lalu, bleg! Tubuh kujatuhkan lagi. Ranjang itu seakan protes, dia menjerit makin kuat. Apa peduliku! Anehnya suara di luar bungkam seketika.
Tidur lagi ah. Perlahan mata mulai meredup, samar menangkap cahaya. Mimpi mulai mengelus-elus angan seakan bicara, tidurlah, dengan teramat mesra. Tetapi, suara itu datang lagi. Kali ini lebih gaduh. Mata kembali terbuka menyala, mungkin karena tercampur dengan emosi. Bibir sudah maju dua senti. Kaki kuhentakkan ke atas lantai dan dengan sigap kuselempangkan sarung, berdiri bak tentara siaga tempur. Jantung ini menderu. Kali ini tiada kata ampun!
Kubuka pintu kamar, kucari sebilah parang di dapur, kugenggam erat dan siap ketebaskan pada asal suara. Mataku menelusuri seluruh penjuru ruang. Dengan gaya komandan pasukan elit, mata kusipitkan mencoba meraba gerak musuh, dan napas kuatur hingga selembut sutera. Tiba-tiba bayangan hitam kecil berkelebat di samping bola mata kiriku, langsung kuayunkan parang dan ciat bles bles bles! Pletok! Sebuah pukulan tangan yang keras. Ternyata tangan bapak mendarat di jidatku, "Bangun! Sahur!"
Pentigraf
Ilawati
15052020