Senin, 08 Juni 2020

Pentigraf Ilawati

TIKUS

Suara berisik di luar membangunkan tidur. Pelan kuberanjak dari ranjang reot yang langsung menjerit saat tubuhku terangkat. Tapi sesaat pantatku setengah di udara kubatalkan niat. Lalu, bleg! Tubuh kujatuhkan lagi. Ranjang itu seakan protes, dia menjerit makin kuat. Apa peduliku! Anehnya suara di luar bungkam seketika.

Tidur lagi ah. Perlahan mata mulai meredup, samar menangkap cahaya. Mimpi mulai mengelus-elus angan seakan bicara, tidurlah, dengan teramat mesra. Tetapi, suara itu datang lagi. Kali ini lebih gaduh. Mata kembali terbuka menyala, mungkin karena tercampur dengan emosi. Bibir sudah maju dua senti. Kaki kuhentakkan ke atas lantai dan dengan sigap kuselempangkan sarung, berdiri bak tentara siaga tempur. Jantung ini menderu. Kali ini tiada kata ampun!

Kubuka pintu kamar, kucari sebilah parang di dapur, kugenggam erat dan siap ketebaskan pada asal suara. Mataku menelusuri seluruh penjuru ruang. Dengan gaya komandan pasukan elit, mata kusipitkan mencoba meraba gerak musuh, dan napas kuatur hingga selembut sutera. Tiba-tiba bayangan hitam kecil berkelebat di samping bola mata kiriku, langsung kuayunkan parang dan ciat bles bles bles! Pletok! Sebuah pukulan tangan yang keras. Ternyata tangan bapak mendarat di jidatku, "Bangun! Sahur!"

 

Pentigraf

Ilawati

15052020

 

Puisi Ilawati

Bugenvil

#4

Coba kaukisahkan 26 tahun lalu

Di balik tembok tinggi kampus biru

Di penghujung lorong panjang bisu

Di rumah berpintu dua itu

Menaungi teras berbangku

Kau awali kesaksianmu

 

Beribu malam menandai bimbang

Sekat demi sekat dicoba diurai

Hingga mengendap di rasa

Diterbangkan jauh ke angkasa

Tak berjejak oleh siapa-siapa

 

Berhitung dalam waktu

Makin dekat menjerat mengikat

Napas ini terpendam di sini

Di bawah bugenvil berbunga putih

 

Tidak ada harapan

Cuma bicara tak berkesudahan

Malam juga malas menjawabnya

Dan semua usai begitu saja

 

Bugenvil itu anggun berdiri

Dia teramat pandai menasihati

Menjaga kaki menelapak di bumi

Kisah itupun berakhir dan mati

Ilawati

#07052020

Pusi Ilawati

BEDA

#3

Saat hati terjebak di matanya,

itu jatuh cinta

Angan merengkuh suaranya,

itu bisa jatuh cinta

Ingin membakar pesona dan merangkumnya,

bolehlah itu jatuh cinta

Kata-kata tersihir oleh tumpul otaknya,

ya begitu jatuh cinta

Paragraf kebohongan bisa mirip aslinya,

aah jelas jatuh cinta

Kerja darah, jantung, dan bibir seperti lalulintas Jakarta,

Pasti itu jatuh cinta

 

Saat hati menerima semua kesalahannya,

itu cinta

Lara, papa, coba, goda menghantam dan kukuh membentengi dirinya

itu cinta

Omangan, cibiran, makian tidak dimuntahkan sebab dia

itu cinta

Suasana panas, ganas, perang tak membuat kaki meninggalkannya

itu cinta

Jadi tua, pikun, cacat, sakit tak juga berhasrat membuangnya

itu cinta

Lalu mati datang tak lupa dititipkan pada ilahi doa terindah untuknya

itu cinta

 

Beda bukan?

 

Ilawati

#07052020

Puisi Ilawati

Janda

#1

Matahari tak pernah bersahabat

Sekadar pada uban putihnya

Pada jalan yang melambat

Atau rapuh jantung di dadanya

Terik dunia mengelantang usianya

Menjadi bab demi bab derita

Ceritanya terongkok di sudut-sudut kota

Episode tak bersuami

Ditinggal anak sendiri

Datang sepi tak berujung

Menenggelamkan matahari

Bersama malam siksa dendam

Terbangun pun sia-sia saja

Hidup itu bongkahan ciu

Godaan bagi manusia lain

Tapi racun tersisa baginya

Tak pernah berharap pada saat

Napas helaan sakit lepas menjerit

Minum menambah kehausan jiwanya

Kering kerontang di setiap musim

Tangis, tak sempat punya

Tawa, sudah lupa

Bahagia, apa artinya

Di bawah gelap benderang matahari

Terseok jalannya menjemput sang sinar

Dia tak pernah tegar

Cuma bersandar

Mungkin tersadar?

Bahkan dia tak tahu

Yang dipikirnya satu

Aku janda

 

Ilawati

#07052020

Puisi Ilawati

Pernah

#2

Dulu sekali

Terlukis di langit kota itu

Warna hati mengikat cerita

Ketika gelora membuncah

Nalar berhenti bergerak

Awalnya dari sana

Bak sungai indah mengalir

Setiap gelombang merindu

Desir anginnya berlagu

Gemericik air nyanyiku

Dahsyatnya terjang hasratku

Di muara semua menderai

Pecah oleh batu-batu kecil

Di atas tak ada cahaya

Awan diam membeku

Kupikir Tuhan lupa mencatat jodohku

 

Ilawati

#07052020